Minggu, 06 September 2015


Makna Syafa’at dalam Al-Qur’an melalui pendekatan semantik
1.      Pendahuluan (Profiling)
Istilah-istilah dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata yang memiliki peranan yang sangat menentukan dalam penyusunan konsep dasar dunia tentang Al-Qur’an. Diantara istilah dalam Al-Qur’an ialah kata Syafa’at.
            Dalam Al-Qur’an, kata syafa’at dipergunakan untuk menunjukan beberapa arti yang berlainan. Jumlah seluruh ayat yang secara langsung menyebut masalah syafa’at ini adalah 25 ayat yang tersebar di dalam 18 surat Al-Qur’an.
            Kata syafa’at, dalam situasi kontemporer ini menjadi suatu kata yang mungkin kontroversi ketika muncul sebuah aliran yang menafikan permasalahan ini dengan menebarkan serangkaian isu yang dapat membuat sebagian orang meragukan realitas syafa’at ini,
            Melihat pentingnya permasalahan ini dan menurut saya menarik untuk dikaji, maka saya berusaha untuk meneliti sebuah kajian mengenai syafa’at dan segala permasalahan yang berkaitan dengannya melalui pendekatan semantic.
            Hal ini yang menjadi dasar tujuan penelitian semantic Al-Qur’an tentang konsep syafa’at, yaitu berusaha mengungkap pandangan dunia Al-Qur’an dengan menggunakan analisis semantic terhadap kosakata atau istilah-istilah syafa’at dalam Al-Qur’an, sehingga dapat memunculkan pesan-pesan yang dinamik dari kosakata Al-Qur’an yang terkandung di dalamnya.
2.      Pengertian
a.      Makna Dasar
Syafa’at berasal dari kata asy-syafa (ganda,genap) yang merupakan lawan kata dari al- witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda, seperti membagi satu menjadi dua, tiga menjadi empat dan sebagainya.
Sedangkan secara istilah, syafa’at menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak mudharat, yakni pemberi syafa’at itu memberikan manfaat kepada orang itu atau menolak mudharatnya. (Syafa’at adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain ).
b.      Makna Relasional
Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang saya teliti mengenai syafa’at, semua ayat tersebut menunjukan arti permohonan ampun atas dosa-dosa.
Kata syafa’at dalam Al-Qur’an dapat kita bagi ke dalam dua permasalahan yaitu sebagai berikut :
Pertama, permasalahan tentang pemberi syafa’at.
Kedua, permasalahan mengenai kelompok yang berhak menerima syafaat dan mereka
yang tidak berhak mendapatkannya.
            Perlu diingat, ketika Al-Qur’an menjelaskan sebuah kriteria tertentu, berarti ia menerangkan sebuah sifat tertentu yang dimiliki oleh sekelompok orang pada kehidupan mereka di dunia.
            Selain kedua permasalahan di atas, dalam situasi kontemporer ini ada sebagian orang berpendapat bahwa ada permasalahan ketiga dalam Al-Qur’an mengenai syafa’at, yaitu bahwa Al-Qur’an menafikan adanya syafa’at sama sekali.
            Menurut saya, dalam kitab suci Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menunjukan penafian syafa’at secara mutlak. Penafian yang ada hanya menunjuk kepada sekelompok orang yang disebut oleh Allah SWT sebagai kelompok yang memiliki sifat kekafiran. Sifat inilah yang menyebabkan mereka tidak berhak mendapatkan syafa’at. Dengan kata lain syafa’at yang dinafikan oleh Al-Qur’an adalah yang berhubungan dengan kaum kafir.
Disaat Al-Qur’an menafikan syafa’at bagi sekelompok orang dengan kriteria tertentu pada saat yang sama, ia menegaskan realitas syafa’at bagi kelompok yang menyandang gelar kaum mukminin.
Dan saya pun menemukan ayat yang mengecualikan syafa’at bagi orang-orang yang menjadikan agam mereka sebagai permainan dan senda gurau dan bagi mereka yang telah ditipu oleh kehidupan dunia.
Kesimpulan dari seluruh pembahasan di atas adalah bahwa syafa’at merupakan fakta yang benar-benar ada di hari kiamat nanti. Hanya saja, baik pemberi syafa’at maupun yang menerimanya haruslah memiliki kriteria-kriteria tertentu dan syafa’at ini tidak akan di dapatkan oleh sebagian orang
Syafa’at yang baik ialah setiap syafa’at yang ditunjukan untuk melindungi hak seseorang muslim agar terhindar dari kemadharatan
3.      Medan Semantik
Kata Syafa’at dalam Al-Qur’an memiliki sinonimitas Al-Wasilah, yakni segala hal yang menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Atau dengan kata lain wasilah yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.
4.      Makna Sinkronik dan Diankronik Syafa’at

a.      Periode Pra Qur’anik
Jika kita melihat makna syafa’at atau al-syaf’u pada masa Pra Al-Qur’an, kata tersebut artinya genap dan merupakan lawan kata dari al-witru (ganjil). [Kitab Lisaanul ‘Arab (8/183)]
b.      Periode Pasca Qur’anik
Namun kata syafa’at itu sendiri setelah Al-Qur’an turun di artikan sebagai usaha perantaraan  dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Bahkan di beberapa ayat al-Qur’an ada yang menggambarkan tentang syafa’at seperti : pemberi syafa’at menghadap kepada Allah dan meminta-Nya agar meringankan siksaan dan mengampuni seseorang yang pantas dihukum lantaran perbuatan buruknya. Pemberi syafa’at itu sendiri bisa berupa amal shaleh yang dilakukan oleh seseorang atau bisa pula oleh seorang insan shaleh yang mendapatkan hak dari Allah. Ia bermohon kepada Allah agar meringankan hukuman atau mengampuni orang yang berdosa.
5.      Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari beberapa uraian tersebut, yaitu :

Makna dasar kata syafa’at adalah genap atau ganda sedangkan makna relasional kata syafa’at yaitu pertolongan karena dengan hal tersebut bisa menjadikan manusia terhindar dari hukuman, bermakna penengah karena ia menjadi penengah bagi orang lain untuk mengusahakan kebaikan atau mencegah keburukan. Namun dari keberagaman makna tersebut tidak meninggalkan makna dasarnya yaitu tetap memiliki makna genap, karena dengan adanya penengah maka keduanya dapat menjadi genap.

Selasa, 18 Maret 2014

Review Buku


DAHSYATNYA DO’A ORANG TUA
Buku yang akan saya review berjudul “Dahsyatnya Do’a Orang Tua” karya M. Yusuf Amin Nuhroho, merupakan sebuah buku yang memuat misteri dibalik dahsyatnya do’a orang tua. Tidak hanya itu, saya pun disuguhkan sebab tajamnya kutukan orang tua.
            Penulis berusaha menganalisis, suatu hal yang menjadikan dunia ini kacau dan terpuruk adalah karena sebagian besar orang lebih senang mencari untung ketimbang memberi untung; lebih senang dibantu ketimbang membantu; lebih senang menerima ketimbang memberi.Orang baru akan memberi manakala ia sudah diberi. Kalaupun ada yang memberi terlebih dahulu, biasanya ia akan menunggu untuk dibalas pemberiannya itu, mengungkit-ungkitnya, atau bahkan menagihnya.
            Pembicaraan mengenai do’a orang tua terhadap anak-anaknya sama dahsyatnya dengan do’a para nabi untuk umatnya dalam buku M. Yusuf Amin Nuhroho banyak di dominasi oleh kasus yang memperlihatkan cara berbakti seorang anak kepada orang tua dilakukan dengan cara yang keliru. Menurutnya, cara yang keliru ibarat petani yang ingin mendapatkan hasil memuaskan dari sawahnya di mana ia telah menghabiskan banyak biaya tetapi tak pernah mau belajar cara penanaman dan perawatan yang baik. Usahanya pun jadi sia-sia. Kalaupun ia bias panen, hasilnya pasti tidak akan memuaskan. Karenanya, Penulis memberikan masukan bahwa kita mesti belajar bagaimana cara berbakti kepada orang tua yang benar, cara mengharapkan do’a dari mereka, dan mencegah kutukannya.
            Selanjutnya Penulis menyebutkan dua hal yang menjadi inti pembicaraan di dalam bukunya tersebut, yakni Do’a dan kutukan.
            Do’a, yang diucapkan oleh siapa pun, kapan pun, dan dimana pun tidak terkecuali terkandung maslahat bersamanya. Manffat tersebut bukan saja akan dipetik oleh orang yang berdo’a, tetapi juga oleh orang lain yang di do’akan. Aktivitas berdo’a mengandung dua kekuatan, yakni kekuatan eksternal dan kekuatan internal. Dua kekuatan inilah yang sungguh-sungguh dibutuhkan dalam kehidupan seseorang. Dua kekuatan ini bias besar dan bias pula kecil. Nah, do’a orang tua mengandung kekuatan eksternal dan internal yang sungguh dahsyat. Karena itulah, kerugian besar bagi sang anak yang durhaka terhadap orang tuanya, sehingga ia jauh dari do’a mereka, dan berpeluang besar mendapat kutukan.
            Melihat dua hal di atas kemudian penulis menyimpulkan, buku ini tidak akan berarti apa-apa kalau hanya sekedar dibaca. Tanpa perenungan, yang kemudian memunculkan spirit kita untuk berubah, mungkin buku ini hanya akan memberi wawasan dan pengetahuan. Sungguh, bukan pengetahuan yang sungguh-sungguh dibutuhkan, melainkan amal. Pengetahuan adalah cahaya, dan cahaya itu akan memancar di ruang kosong (tidak berguna) tanpa diamalkan.
            Selanjutnya saya pun setuju dengan penulis, banyak-banyklah merenung. Karena dengan merenung, kita akan tahu betapa orang tua telah banyak memberi kepada kita. Banyak-banyaklah berkaca, karena dengan itu Kita akan tahu begitu banyak kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat terhadap orang tua.

Kamis, 27 Februari 2014

About Me

Its Mine: About Me: Nama saya Herminawati Muhaemin biasa dipanggil   Mi, tapi ada juga yang suka memanggil dengan sebutan Hermin. Saya berjenis kelamin peremp...